HASANUDDIN ALI* || NU dan Teori Tiga Komunitas
Pertanyaan penting yang sering berseliweran di kepala sebagian besar generasi muda NU kini, termasuk saya, adalah apakah 20 tahun lagi NU masih ada di Indonesia? Apakah NU masih relevan bagi masa depan Indonesia? Jangan-jangan NU akan tinggal jadi catatan buku sejarah saja.
Dengan latar belakang riset dan marketing, saya mencoba mencoba menganalisa masa depan NU. NU adalah sebuah komunitas besar dimana orang-orang di dalamnya merasa mendapatkan manfaat dari komunitas yang dia ikuti, kalau tidak yang dia akan meninggalkan komunitas itu.
Jumlah orang NU di Indonesia berdasarkan klaim atau survei di kisaran 47% dari total penduduk Indonesia, angka ini didapat berdasarkan ritual-ritual yang mereka lakukan. Jadi kalau orang itu masih tahlilan, haul, ziarah kubur maka mereka digolongkan sebagai orang NU.
Kalau dilihat sebagai jamiyah mungkin jumlah itu benar, tapi kalo di anggap jama’ah bisa jadi angka itu terlalu berlebihan. Bisa jadi mereka memang melakukan ritual-ritual NU, tapi begitu tanya apakah mereka mengidentikkan dengan NU? bisa iya bisa tidak.
NU dalam teori kekinian mungkin bisa juga disebut sebagai komunitas. Sebagai komunitas mestinya setiap orang yang merasa bagian dari komunitas NU harus memiliki purpose (tujuan), values (nilai-nilai), dan Identity (identitas) yang menunjukkan diri sebagai orang NU.
Lihatlah sekarang, banyaknya majelis-majelis habib di kota-kota besar malah justru semakin menjauhkan orang NU dari NU-nya sendiri. Mereka sudah nyaman mengikuti berbagai acara majelis-majelis itu toh dari praktek ubudiah tidak ada bedanya dengan NU. Yang lebih mengharukan adalah banyaknya keturunan NU yang bergerak di bidang professional yang tidak tersentuh dan perlahan tapi pasti sudah mulai tercerabut ke-NU-annya.
Berbicara tentang komunitas, menurut Susan Fournier, Profesor Marketing dari Boston University, ada tiga jenis kemunitas. Pertama, Pools, komunitas ini disatukan oleh shared values yang sama, atau bahasa gampangnya komunitas yang memiliki ideologi yang sama, secara demografi dan geografi kemunitas ini agak longgar dan cair. Dalam konteks partai, PDIP adalah salah satu partai dengan tipe ini, karena mereka disatukan oleh ideologi marhaenisme yang di ajarkan Bung Karno
Kedua, Web, komunitas ini disatukan oleh jejaring yang kuat, hubungan antar komunitas juga terjalin antar anggota ini cukup erat. Partai yang cocok dengan tipe komunitas ini adalah Golkar, partai ini secara organisasi dan jejajaring cocok dengan tipe komunitas ini.
Ketiga, Hub, komunitas ini disatukan oleh tokoh idola/panutan, karisma dari sang tokoh membuat orang-orang berbondong ikut dan masuk dalam komunitas ini. Partai Demokrat sangat cocok dengan tipe komunitas ini, SBY adalah sentral segalanya bagi demokrat, daya tarik SBY membuat orang-orang berbondong-bondong memilih demokrat pada pemili 2009 lalu.
Lalu bagaimana dengan NU bila di kaitkan dengan 3 tipe komunitas ini, dengan melihat kesejarahan NU maka dengan mudah kita bisa menempatkan NU sebelum era Gus Dur adalah NU dengan tipe Pool, saat itu memang faktor ketokohan memang terasa, tapi persaingan dengan Muhammadiah membuat NU sangat kental dengan ideologi Aswaja nya untuk membedakan dirinya dengan Muhammadiah.
Era Gus Dur, adalah NU dengan tipe komunitas Hub. Gus Dur Jaman itu ibarat jimat bagi NU, ketokohan Gus Dur sangat di segani dan mampu mengangkat derajat NU dalam puncak keemasan. Gus Dur mampu menjadi lawan tunggal Soeharto saat itu. Gus Dur juga menjadi magnet bagi orang-orang yang sebelumnya belum mengenal NU untuk ikut dan masuk menjadi bagian NU.
Nah, NU pasca Gus Dur semestinya adalah komunitas dengan tipe Web, kenapa demikian? Saya ingat betul bagaimana Pak Hasyim Muazadi sebagai ketua PBNU saat itu mengatakan bahwa dia ingin memperkuat organisasi dan cabang NU. Begitu juga dengan Pak Said Aqil Sirodj, salah satu program utamanya adalah kembali ke pesantren, penguatan pesantren sebagai basis masa dan jejaring ulama terbesar didunia harus lebih utamakan.
Pertanyaannya adalah apakah setiap komunitas harus memilih satu diantara tiga tipe komunitas ini? Jawabnya tidak, untuk sukses biasanya satu komunitas paling tidak punya dua tipe yang kuat dan ada satu yang dominan. Tipe komunitas hubs biasanya dipilih sebagai awal untuk membentuk komunitas, karena dengan adanya tokoh idola yang kuat maka eskalasi untuk mendapatkan “masa” komunitas akan cepat tercapai. Namun titik lemahnya komunitas yang terlalu mengandalkan pada karisma ketokohan secara jangka panjang tidak baik, begitu tokohnya hilang maka komunitas itu akan goyang dan lambat laun akan memudar.
Komunitas yang sudah mapan biasanya tipe komunitas yang dominan adalah tipe web, dimana komunitas ini sudah memiliki jejaring yang tersebar luas dan infrastruktur yang kuat. Namun tipe ini juga cenderung mulai rigit dan kaku dimana anggota komunitasnya harus memiliki komitmen yang kuat untuk membesarkan komunitas.
Komunitas pools adalah komunitas tertutup dengan basis ideologi kuat, tapi kelemahanya komunitas model ini biasanya tidak bisa besar karena rekrutmen anggota komunitas yang sangat ketat. Dilain pihak banyak kalangan berpendapat bahwa dengan adanya dunia semakin horizontal, meminjam judul buku Friedman, The World is Flat, sekat-sekat ideologi telah hilang dan dipandang sudah tidak relevan dalam konteks kekinian. Ideologi telah mati.
Kita kembali membahas NU sekarang, sebagai ormas dengan basis masa besar sekaligus memiliki spektrum yang luas segera berbenah diri menghadapi perubahan paradigma dan perilaku sosial jamaahnya.
Rasanya tidak mungkin NU kembali ke tipe komunitas hubs murni, orang sekaliber Gus Dur tidak mungkin terlahir kembali dalam rentang waktu 100 tahun lagi. Karena itu saya menawarkan kepada NU seharusnya memilih kombinasi tiga kombinasi komunitas tersebut dengan driver utamanya adalah tipe komunitas web kemudian di ikuti oleh pools dan hubs.
Penguatan jejaring baik yang di struktural dan kultural NU harus di perkuat, idealnya di kotomi struktural dan kultural harus di hilangkan. NU harus merangkul semua spektrum orang-orang NU di semua bidang dan pemikiran, orang NU bisa berkarya dimana saja tapi harus selalu terkoneksi dengan NU, NU harus berani membuka diri terhadap terhadap semua kelompok profesi terutama untuk wilayah perkotaan, sehingga jejaring NU akan tersebar dimanapun.
Selain itu komunitas web menuntut militansi dari anggota kadernya, karena itu penguatan kader NU merupkan keharusan selain itu demi efektifitas komando, NU juga harus mencoba menggunakan sistem organisasi yang efektif.
Penguatan Ideologis sangat penting, Aswaja harus tetap diperkuat untuk membentengi NU dari gelombang pemikiran baru islam yang datang belakangan yang penuh kebencian dan purifikasi. Yang perlu diingat penguatan ideologi ini harus bersifat ofensif. NU harus lebih sering mengkomunikasikan pandangan-pandanganya yang moderat itu tapi tentu saja harus dengan bahasa kekinian.
Hubs masih diperlukan terutama untuk wilayah pedesaan, para romo kyai di berbagai pesantren masih bisa menjadi perekat jamaah NU di pedesaan. Para kyai bisa menjadi hubs kecil di wilayahnya masing-masing dan NU harus mampu memfasilitasi konektifitas diantara hubs-hubs kecil ini.
Selain itu yang penting NU harus mampu mengelola komunitasnya. Komunitas itu seperti kita memegang pasir, kalo kita terlalu erat memegang pasir maka pasir yang kita pegang akan buyar, begitu juga kalo kita terlalu longgar memegang pasirnya maka pasir yang kita pegang juga sedikit. Karena diperlukan cara yang pas dan tepat untuk memegang komunitas tersebut.
*Alumni PMII ITS; Founder dan CEO Alvara Strategic Indonesia
Dengan latar belakang riset dan marketing, saya mencoba mencoba menganalisa masa depan NU. NU adalah sebuah komunitas besar dimana orang-orang di dalamnya merasa mendapatkan manfaat dari komunitas yang dia ikuti, kalau tidak yang dia akan meninggalkan komunitas itu.
Jumlah orang NU di Indonesia berdasarkan klaim atau survei di kisaran 47% dari total penduduk Indonesia, angka ini didapat berdasarkan ritual-ritual yang mereka lakukan. Jadi kalau orang itu masih tahlilan, haul, ziarah kubur maka mereka digolongkan sebagai orang NU.
Kalau dilihat sebagai jamiyah mungkin jumlah itu benar, tapi kalo di anggap jama’ah bisa jadi angka itu terlalu berlebihan. Bisa jadi mereka memang melakukan ritual-ritual NU, tapi begitu tanya apakah mereka mengidentikkan dengan NU? bisa iya bisa tidak.
NU dalam teori kekinian mungkin bisa juga disebut sebagai komunitas. Sebagai komunitas mestinya setiap orang yang merasa bagian dari komunitas NU harus memiliki purpose (tujuan), values (nilai-nilai), dan Identity (identitas) yang menunjukkan diri sebagai orang NU.
Lihatlah sekarang, banyaknya majelis-majelis habib di kota-kota besar malah justru semakin menjauhkan orang NU dari NU-nya sendiri. Mereka sudah nyaman mengikuti berbagai acara majelis-majelis itu toh dari praktek ubudiah tidak ada bedanya dengan NU. Yang lebih mengharukan adalah banyaknya keturunan NU yang bergerak di bidang professional yang tidak tersentuh dan perlahan tapi pasti sudah mulai tercerabut ke-NU-annya.
Berbicara tentang komunitas, menurut Susan Fournier, Profesor Marketing dari Boston University, ada tiga jenis kemunitas. Pertama, Pools, komunitas ini disatukan oleh shared values yang sama, atau bahasa gampangnya komunitas yang memiliki ideologi yang sama, secara demografi dan geografi kemunitas ini agak longgar dan cair. Dalam konteks partai, PDIP adalah salah satu partai dengan tipe ini, karena mereka disatukan oleh ideologi marhaenisme yang di ajarkan Bung Karno
Kedua, Web, komunitas ini disatukan oleh jejaring yang kuat, hubungan antar komunitas juga terjalin antar anggota ini cukup erat. Partai yang cocok dengan tipe komunitas ini adalah Golkar, partai ini secara organisasi dan jejajaring cocok dengan tipe komunitas ini.
Ketiga, Hub, komunitas ini disatukan oleh tokoh idola/panutan, karisma dari sang tokoh membuat orang-orang berbondong ikut dan masuk dalam komunitas ini. Partai Demokrat sangat cocok dengan tipe komunitas ini, SBY adalah sentral segalanya bagi demokrat, daya tarik SBY membuat orang-orang berbondong-bondong memilih demokrat pada pemili 2009 lalu.
Lalu bagaimana dengan NU bila di kaitkan dengan 3 tipe komunitas ini, dengan melihat kesejarahan NU maka dengan mudah kita bisa menempatkan NU sebelum era Gus Dur adalah NU dengan tipe Pool, saat itu memang faktor ketokohan memang terasa, tapi persaingan dengan Muhammadiah membuat NU sangat kental dengan ideologi Aswaja nya untuk membedakan dirinya dengan Muhammadiah.
Era Gus Dur, adalah NU dengan tipe komunitas Hub. Gus Dur Jaman itu ibarat jimat bagi NU, ketokohan Gus Dur sangat di segani dan mampu mengangkat derajat NU dalam puncak keemasan. Gus Dur mampu menjadi lawan tunggal Soeharto saat itu. Gus Dur juga menjadi magnet bagi orang-orang yang sebelumnya belum mengenal NU untuk ikut dan masuk menjadi bagian NU.
Nah, NU pasca Gus Dur semestinya adalah komunitas dengan tipe Web, kenapa demikian? Saya ingat betul bagaimana Pak Hasyim Muazadi sebagai ketua PBNU saat itu mengatakan bahwa dia ingin memperkuat organisasi dan cabang NU. Begitu juga dengan Pak Said Aqil Sirodj, salah satu program utamanya adalah kembali ke pesantren, penguatan pesantren sebagai basis masa dan jejaring ulama terbesar didunia harus lebih utamakan.
Pertanyaannya adalah apakah setiap komunitas harus memilih satu diantara tiga tipe komunitas ini? Jawabnya tidak, untuk sukses biasanya satu komunitas paling tidak punya dua tipe yang kuat dan ada satu yang dominan. Tipe komunitas hubs biasanya dipilih sebagai awal untuk membentuk komunitas, karena dengan adanya tokoh idola yang kuat maka eskalasi untuk mendapatkan “masa” komunitas akan cepat tercapai. Namun titik lemahnya komunitas yang terlalu mengandalkan pada karisma ketokohan secara jangka panjang tidak baik, begitu tokohnya hilang maka komunitas itu akan goyang dan lambat laun akan memudar.
Komunitas yang sudah mapan biasanya tipe komunitas yang dominan adalah tipe web, dimana komunitas ini sudah memiliki jejaring yang tersebar luas dan infrastruktur yang kuat. Namun tipe ini juga cenderung mulai rigit dan kaku dimana anggota komunitasnya harus memiliki komitmen yang kuat untuk membesarkan komunitas.
Komunitas pools adalah komunitas tertutup dengan basis ideologi kuat, tapi kelemahanya komunitas model ini biasanya tidak bisa besar karena rekrutmen anggota komunitas yang sangat ketat. Dilain pihak banyak kalangan berpendapat bahwa dengan adanya dunia semakin horizontal, meminjam judul buku Friedman, The World is Flat, sekat-sekat ideologi telah hilang dan dipandang sudah tidak relevan dalam konteks kekinian. Ideologi telah mati.
Kita kembali membahas NU sekarang, sebagai ormas dengan basis masa besar sekaligus memiliki spektrum yang luas segera berbenah diri menghadapi perubahan paradigma dan perilaku sosial jamaahnya.
Rasanya tidak mungkin NU kembali ke tipe komunitas hubs murni, orang sekaliber Gus Dur tidak mungkin terlahir kembali dalam rentang waktu 100 tahun lagi. Karena itu saya menawarkan kepada NU seharusnya memilih kombinasi tiga kombinasi komunitas tersebut dengan driver utamanya adalah tipe komunitas web kemudian di ikuti oleh pools dan hubs.
Penguatan jejaring baik yang di struktural dan kultural NU harus di perkuat, idealnya di kotomi struktural dan kultural harus di hilangkan. NU harus merangkul semua spektrum orang-orang NU di semua bidang dan pemikiran, orang NU bisa berkarya dimana saja tapi harus selalu terkoneksi dengan NU, NU harus berani membuka diri terhadap terhadap semua kelompok profesi terutama untuk wilayah perkotaan, sehingga jejaring NU akan tersebar dimanapun.
Selain itu komunitas web menuntut militansi dari anggota kadernya, karena itu penguatan kader NU merupkan keharusan selain itu demi efektifitas komando, NU juga harus mencoba menggunakan sistem organisasi yang efektif.
Penguatan Ideologis sangat penting, Aswaja harus tetap diperkuat untuk membentengi NU dari gelombang pemikiran baru islam yang datang belakangan yang penuh kebencian dan purifikasi. Yang perlu diingat penguatan ideologi ini harus bersifat ofensif. NU harus lebih sering mengkomunikasikan pandangan-pandanganya yang moderat itu tapi tentu saja harus dengan bahasa kekinian.
Hubs masih diperlukan terutama untuk wilayah pedesaan, para romo kyai di berbagai pesantren masih bisa menjadi perekat jamaah NU di pedesaan. Para kyai bisa menjadi hubs kecil di wilayahnya masing-masing dan NU harus mampu memfasilitasi konektifitas diantara hubs-hubs kecil ini.
Selain itu yang penting NU harus mampu mengelola komunitasnya. Komunitas itu seperti kita memegang pasir, kalo kita terlalu erat memegang pasir maka pasir yang kita pegang akan buyar, begitu juga kalo kita terlalu longgar memegang pasirnya maka pasir yang kita pegang juga sedikit. Karena diperlukan cara yang pas dan tepat untuk memegang komunitas tersebut.
*Alumni PMII ITS; Founder dan CEO Alvara Strategic Indonesia