M ARIEF AULY* || Unpolitical Politic: Arah Politik Nahdlatul Ulama

Peran Nahdhatul Ulama tidak bisa dilepas dari sejarah bangsa Indonesia. Organisasi masyarakat Islam ini telah memberikan sumbangsih besar terhadap bangsa dan negara Indonesia. 
Walaupun NU pada awalnya berdiri sebagai organisasi keagamaan, namun ia tidak hanya bergerak dalam bidang agama. Sejarah mencatat, perjalanan Negara Indonesia banyak diwarnai oleh peran politik NU. Bahkan sampai detik ini NU masih berjuang melalui jalur-jalur politik.

Perjuangan politik NU selain karena gagasan-gagasan yang perlu dipertahankan, juga karena politik adalah jalur perjuangan yang paling legal dalam kehidupan bernegara. Sejak dahulu banyak tokoh-tokoh muda NU yang bersemangat untuk masuk di dalamnya. Bahkan mereka lebih cenderung berkecimpung dalam dunia politik daripada bergiat memperjuangkan agama. Hal ini terlihat dari perjalanan politik NU sebagai ormas Islam yang kurang diimbangi dengan prestasi keagamaan dan sosial.

Bagai lilin di tengah kegelapan, dengan modal yang sangat sederhana, organisasi yang belum benar-benar kuat, ketimpangan, perselisihan dan banyak hiruk pikuk di dalam tubuh NU, ia mampu memperlihatkan keseriusannya memperjuangkan bangsa. Mulai dari fenomena tanah Hijaz, menjaga kemurnian Indonesia dari kolonial Belanda, perjuangan kemerdekaan, piagam Jakarta, hingga memasukkan nilai-nilai kearifan islam ke dalam hukum positif Negara. 

Kemudian setelah sekian lama berjibaku dengan politik, prestasi politik NU kini tidak terlihat menggembirakan lagi. Jika ditahun 1930-1960-an NU memperjuangkan banyak hal fundamental, kemudian di tahun-tahun berikutnya adalah masa lesu politik hingga hari bersejarah dalam perjalanan politik, Kembali ke Khittah 1926. Sekalipun sudah menyatakan bercerai dengan politik praktis, namun NU secara implisit berhasil meloloskan Gus Dur menjadi Presiden. Menurut adiknya, Gus Sholah  prestasi ini memberikan harapan besar yang tidak proporsional (Salahuddin Wahid, 2002). Lengsernya beliau seakan menutup cerita NU.

Sejauh perjalanannya, NU telah banyak makan asam garam sebagai bagian dari Negara. Dari situ sebenarnya NU sudah mampu membaca apa yang harus ia lakukan ke depan. Baik dari segi tujuan maupun prosesnya. Tentu saja masih banyak yang perlu dikaji ulang agar siap menhadapi tantangan-tantangan di depan.

Sejak awal hingga ahir decade ini NU masih bertahan dengan model theokrasi. Hampir seluruh capaian bertujuan untuk melancarkan misi keagamaan. Hebatnya NU tidak serta-merta menghilangkan nilai kebangsaan. NU tetap memahami bahwa ia terlahir dari Rahim Indonesia yang bhineka. Itulah mengapa NU masih tetap bertahan hingga kini, artinya NU diterima oleh bangsa Indonesia. Bukan hanya karena sumbangsihnya terhadap Negara saja tapi juga karena keberadaan NU dinilai sebagai warna yang dominan.

Model politik NU tidak lepas dari latar belakangnya. NU terlahir dari pesantren, lembaga pendidikan agama Islam yang terkesan konservatif. Kolot, ulet, sangat menjaga tradisi keislaman. Nah, yang terahir ini adalah salah satu sisi positif dari pesantren yang kebanyakan dimaknai secara tekstual. Memang benar sikap apa adanya, sederhana, mengalah, tidak neko-neko adalah sikap yang yang luhur. Akan tetapi jika itu secara berlebihan dianggap sebagai sebuah kesempurnaan hidup dan dibawa ke medan pertempuran politik maka yang terjadi adalah ketertinggalan yang amat sangat jauh.

Bagi NU, Indonesia dengan pancasilanya adalah bentuk final dari khidupan bernegara. Gus Dur menyatakan bahwa kehidupan bernegara adalah suatu yang tidak bisa ditawar lagi. Maka kewajiban penduduk Negara adalah mentaati pemerintah sebagai upaya penataan sebuah Negara (Salahuddin, 2002; Wahid, 1982:156). 

Negara Indonesia juga dibentuk atas sumbangan pemikiran dari ideology NU yaitu Islam. Konsep Negara dalam Ialam juga bersifat fleksibel, tidak harus theolitik bukan juga skularis namun masih dalam tataran kemaslahatan. Sejauh ada maslahah yang dominan dipandang baik menurut agama. Tentu dengan pertimbangan dari semua sisinya.

Jika sampai sekarang NU mentaati system pemerintahan dan politik berarti NU masih memandang belum sepenuhnya salah. NU membawa warganya untuk sadar hukum, melek politik dan bersikap demokratis terhadap pemerintah. Mengajak untuk menjadi warga Negara yang loyal dan bertanggung jawab. Tidak mengancam persatuan bangsa. Baik dalam kepentingan kelompok ataupun agama. NU tidak hanya berkepentingan untuk agamanya sendiri tapi juga menyeluruh semua kalangan. Untuk itu semua diperlukan sikap yang terbuka, jujur, komunikatif dan mnjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika yang berlaku.

NU Berpolitik, Pantaskah? Tolok Ukur Politik NU

Bicara pantas dan tidak pantas berpolitik bagi NU bukanlah seperti membicarakan nilai moral. Akan tetapi bagi organisasi sekaliber NU, ia perlu total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. NU sangat pantas bahkan harus melakukan semua hal demi mewujudkan kehidupan yang adil, makmur termasuk melalui jalur politik. Politik yang “pantas” bagi NU adalah politik yang elit, elegan,  penuh wibawa. Bukan sekedar berebut kepentingan dan memainkan siasat papan catur.

Lebih lanjut, NU harus mempersiapkan kehidupannya dengan matang. Artinya, NU harus melihat dari semua sudut kehidupan bernegara. Mulai dari komponen negara, kultur bangsa dan tentunya kapabilitas dirinya sendiri yang luar biasa itu. Ketiga hal tersebut yang harus menjadi fokus perjuangan NU ke depan. Juga tidak kalah penting yaitu bersiap diri dalam menghadapi berbagai tantangan di depan. Perjuangan besar memang selalu menghadapi tantangan yang besar pula.

Panling penting dan mendesak adalah penguatan organisasi. Penguatan diri bagi sebuah ormas mempunyai sudut pandang yang luas. Struktural yang kuat sangatlah menentukan kuat tidaknya sebuah organisasi. Tidak diragukan lagi kualitas SDM elit NU. Kebanyakan mereka berada pada alam pesantren, suasana akademik khas kaum tradisionalis yang kental.

Namun banyaknya cendekiawan dan ulama bukan sepenuhnya ukuran kuat tidaknya NU. Yang lebih penting dari itu adalah penyatuan visi-misi antar cendekiawan dan ulama NU.

Selanjutnya mengimplementasikan amanah yang terkandung dalam hittah1926. Yaitu perumusan terhadap acuan politik yang dirangkum menjadi sembilan pedoman berpolitik warga NU. Yaitu politik yang sehat, bewawasan kebangsaan, bertanggung jawab, menjunjung tinggi etika dan nilai moral, komunikatif, harmonis dan mandiri.

Kemajemukan Indonesia adalah mutlak harus dijaga keharmonisannya. Sebagai organisasi kerakyatan,  NU sudah melakukan itu sejak jaman dahulu. Dalam sejarahnya, NU telah banyak berdialog dengan kultural bangsa. Bagi NU, berjuang di jalan agama adalah prioritas, dan membuat agama itu diterima semua kalangan juga prioritas. Inilah inti ajaran NU, amar ma’ruf nahi munkar .

Menurut Kacung Marijan, upaya itu pada ahirnya akan mendorong tumbuh dan berkembangnya “organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan (Hikam, 2010).

Jika seluruh warga NU memaknai secara mendalam amanat Hittah 1926 yaitu nilai-nilai Mabadi’ Khairu Ummah. Sebagai upaya memperkuat civil society yang sesungguhnya adalah implementasi dari nilai-nilai ke-Islam-an (Thoha,2003). Dalam upaya merealisasikan itu semua NU harus inovatif. Termasuk mengawal aspirasi rakyat terhadap pemerintah. Artinya NU tetap harus berhubungan secara baik dengan pemerintahan. 

Dalam hubungannya dengan pemerintahan, NU harus menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, memberikan kritik yang membangun terhadap pemerintah. Sebagai basic kekuatan sipil NU harus berada di depan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Pematangan kader-kadernya yang potensial untuk berpolitik secara total dengan membawa nilai-nilai diatas. Tentunya ini harus seimbang dengan langkah-langkah lain. Kader-kader NU dalam bidang lain juga harus dipersiapkan secara matang. Artinya NU sebagai rumah yang menyediakan apa saja termasuk politik. Mengingat potensi NU bukan hanya di bidang politik dan kepentingan warga NU juga bukan hanya dalam bidang politik saja. Penguatan ekonomi, keagamaan dan lain-lain juga penting diupayakan secara serius dan mendesak melalui kader-kadernya.

Sebagai catatan besar, kususnya bagi pemuda NU, bahwa NU bukanlah kendaraan politik, bukan juga ladang bisnis, bukan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. NU secara struktural harus tetap menjaga jarak dengan politik praktis.

Untuk itu NU perlu melakukan perubahan revolusioner dengan tahapan sebagai berikut: menguatkan struktural organisasinya, mempersiapkan kader-kader yang dididik secara militan dalam bidang keilmuannya.

Sementara itu, NU fokus pada perjuangan kebangsan dan kerakyatan: memberdayakan ekonomi kerakyatan. Meningkatkan gerakan sosial. Tidak kalah penting, meningkatkan kualitas pendidikan dan memfasilitasinya.

Tidak mudah memeng melakukan itu semua. Sebagai organisasi masyarakat yang besar, NU juga akan menemui berbagai tantangan antara lain tantangan internal sruktural,  tantangan kehidupan bernegara, tantangan dalam mengoptimalkan potensinya juga kapasitas SDM.

Unpolitical Politic 

Tawaran ini yang penulis sebut dengan unpolitical politic. Dengan harapan NU ke depan semakin mendapat momennya dan menjadi ormas Islam yang bermanfaat penuh  hatta yaumil qiyamah, Amiin. 

Pertama, yang paling penting dan mendesak: mengobati tubuh NU dalam struktural. Penguatan fondasi organisasi dari SDM, kaderisasi, pengembangan asset organisasi dan kerapian administrasinya. Kedua, mempersiapkan kader-kader yang masing-masing terfokus dalam satu bidang. Semua bidang-bidang ilmu yang nantinya akan berjuang membangun bangsa yang bermartabat.

Ketiga, revitalisasi peran politik. Dengan jalan merevisi pandangan politik NU harus berbasis kultural kemandirian tanpa terintervensi oleh kekuatan penguasa, dan bukan politik praktis. Keempat, Fokus membangun nilai sosial agama terutama pendidikan dan penguatan ekonomi kerakyatan. Dari sini akan nampak posisi NU sebagai basis kekuatan sipil. Salah satunya melalui optimalisasi banom, lembaga dan lajnah NU yang masing-masing mempunya garapannya sendiri, mempunyai tupoksi sendiri.

Ada catatan yang harus dipersiapkan, bahwa kehidupan kini sangatlah luas cakupannya. Tidak hanya Indonesia atau satu agenda pembangunan saja. Namun sudah selayaknya kebangkitan itu menjadi sebuah gerakan zaman. Artinya jika NU fokus dengan nilai sosial agama, konomi, dan kemanusiaan maka mau tidak mau NU juga harus mengglobal.



Referensi:
Salahuddin Wahid, Menggagas Peran Politik NU, PIS, 2002.
Abdurrahman Wahid, Islam dan Masyarakat Bangsa, Jurnal Pesantren No.31 Vol. VI/1982.
M. AS. Hikam, Gus Dur, NU dan masyarakat sipil, LKiS, 2010





Penulis adalah Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang.

PENGUNJUNG