RIJATNO WN* || Membaca Jejak Pergerakan Islam Pasca-Reformasi

Pada awal dekade 90-an Soeharto sebagai pemimpin negara berpenduduk Islam terbesar di dunia mengganti blangkon dengan peci. Berbagai analisis pun bermunculan. Ada yang mengatakan, Pak Harto tengah bersiap jelang pemilu 1992.
Sebagian menilai itu hal yang tak terelakkan bagi tiap manusia yang memasuki usia senja, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia mulai percaya pada golongan kanan, sehingga bendungan yang selama ini beliau jaga mulai dibuka kerannya. ICMI lahir,  diskusi-diskusi keislaman menemukan geloranya, para tokoh dan aktivis Islam pun percaya bahwa Indonesia siap memasuki abad ke 21 yang sering disebut sebagai abad kebangkitan agama dan spiritualisme.
Tahun 90-an juga ditandai dengan dilonggarkannya peraturan mengenai penggunaan jilbab, dan segera jilbab menjadi tren, terutama di kalangan kampus. Dan dari kampus, tempat paling subur untuk menyemai ide, jilbab segera menyebar ke masyarakat umum. Diperbolehkannya jilbab ini seolah menjadi pertanda bahwa pemerintah memberikan lampu hijau dan jalan kepada wacana-wacana keislaman lainnya. Pelaksanaan ajaran Islam secara kaffah, penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, hingga keinginan menghidupkan kembali Piagam Jakarta, adalah tema-tema besar yang mulai diwacanakan secara luas dan intens di kampus. Hal-hal yang dulu hanya dibicarakan secara terbatas dan bahkan underground.  Wacana-wacana tersebut menemukan bentuknya dengan lahirnya ormas-ormas Islam yang di kemudian hari di antaranya menjadi partai politik peserta pemilu pasca lengsernya Pak Harto. 
Amat menarik untuk membaca generasi mahasiswa ’90-an dari sudut pandang pergerakan keislaman. Tidak hanya karena pada saat itu gerakan keislaman sedang menemukan momentumnya seiring dengan bergantinya haluan politik Pak Harto, juga karena generasi 90-an lah yang kini menempati posisi-posisi strategis dan mulai menjadi pemain yang menentukan arah bangsa ini. Dengan memahami pergulatan pemikiran mereka pada waktu itu maka akan membantu kita untuk membaca arah pergerakan Islam, sekaligus memberikan evaluasi agar pergerakan Islam (dan bangsa) menuju arah yang benar.  Tentu diperlukan studi yang komprehensif agar evaluasi bisa dilakukan secara akurat dan benar, tetapi setidaknya tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba mengawali hal tersebut.
Jejaknya Ada di Sini
Kita mulai penelusuran ini dengan memahami cara pandang mereka terhadap Islam dan bagaimana dengan cara pandang tersebut dilakukanlah usaha-usaha untuk mentransformasikan Islam menjadi sebuah gerakan. Sehingga, apa yang terjadi di kemudian nanti, sebenarnya jejaknya bisa ditelusuri dari sini.
Ada dua cara pandang dalam memahami Islam, dan pada waktu itu hal ini menjadi salah satu issue utama dalam banyak diskusi. Yang pertama adalah memandang Islam secara kontekstual. Islam tidak dipahami sebagai teks yang mati, melainkan dapat didialogkan dengan kondisi-kondisi terkini yang pada pemahaman lebih jauh, akan membawanya menuju pemahaman Islam secara hakekat. Dengan memahami Islam secara kontekstual dan secara hakekat, maka terciptalah ruang yang luas bagi humanisme dan plularisme, sekaligus kesempatan yang lebih besar untuk mentransformasikan Islam sebagai sebuah gerakan.
Salah satu generasi 90-an yang paling cemerlang dalam hal ini adalah Ulil Abshar Abdalla, yang kemudian pada tahun 2001 membidani kelahiran JIL (Jaringan Islam Liberal). Sayangnya, banyak kemudian yang tidak tahan dengan gagasan-gagasan Ulil, bahkan dari kalangan nahdliyin yang nota bene adalah kalangan di mana Ulil berasal. Pemahaman hakekat ini memang memerlukan ketekunan dan kesabaran filosofis yang luar biasa, karena ia tidak cukup hanya dengan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih jauh adalah mengetahui mengapa hal ini dibenarkan dan mengapa itu tidak diperbolehkan. Dan bertanya mengapa kepada agama seringkali dianggap sebagai mempertanyakan kebenaran agama (dan Tuhan). Padahal dengan mengerti akan hal itu, kita bisa menjadikan Islam sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer, dan meletakkan kembali Islam pada posisinya yang terhormat sebagai pengubah dunia seperti pernah dicontohkan Nabi Muhammad Saw.
Cara pandang kedua dalam memahami Islam adalah memandang Islam secara tekstual. Pemahaman ini  berada dalam keping yang sama dengan mereka yang memahami Islam dengan pendekatan syariati. Berbeda dengan yang pertama yang lebih longgar dalam memahami teks, cara pandang kedua ini lebih ketat dalam memahami teks-teks agama dan berusaha keras mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemurnian ajaran Islam, melaksanakan Islam secara kaffah, dan pada akhirnya menjadikan syariat Islam sebagai jawaban dari segala persoalan bangsa adalah tema-tema besar yang diusung dengan tingkat moderasi dan strategi yang berbeda-beda.  Politik dengan demikian adalah hal yang niscaya untuk mewujudkannya. Maka lahirlah ormas-ormas Islam baru yang di antaranya kemudian bermertamofosa menjadi partai politik.
Pandangan ini melahirkan pula puritanisme yang pada waktu itu sempat menggejala di kalangan kampus. Satu contoh yang cukup banyak ditemui kala itu adalah adanya keinginan untuk menegakkan pergaulan antara pria dan wanita sesuai  syariat Islam, yang kemudian berlanjut kepada ke luarnya sebagian mahasiswi-mahasiswi dari kampus, dan memilih untuk menikah muda meski tanpa sepengetahuan orang tua. 
Puritanisme membuat dunia mereka terbelah antara dunia yang sesuai dengan syariat Islam dan dunia jahiliyah. Pandangan yang menafsirkan agama secara literal dan bahkan terkadang ahistoris ini pada akhirnya akan membawa kepada radikalisme dengan penumpang gelapnya adalah terorisme. Terorisme yang melanda tanah air semenjak pasca reformasi hingga sekarang ini, sesungguhnya jejaknya bisa dilihat di sini.
Benih-benih Negara Agama
Satu tema besar yang diperjuangkan kelompok ini adalah tegaknya syariat Islam dan khilafah di Indonesia. Hingga kini pun, dalam setiap peristiwa politik yang berujung pada demonstrasi hampir selalu ditemukan adanya spanduk-spanduk yang menyuarakan hal tersebut. Partai politik Islam mengemasnya dalam bahasa yang lebih halus, yakni sebagai sebuah wacana untuk menghidupkan kembali piagam Jakarta. Tetapi kita bisa melihat, bahwa ini adalah sebuah kerangka besar untuk mewujudkan adanya negara agama di Indonesia. Gejala-gejalanya mulai nampak sekarang ini dengan munculnya perda-perda agamis, seperti keharusan bisa baca Qur’an sebagai syarat pegawai negeri, hingga yang terakhir yang agak hebph tetapi konyol adalah adanya aturan tidak boleh mengangkang bagi pembonceng wanita.
Ide mendirikan negara agama sebenarnya perlu dikaji kembali. Apakah benar hal tersebut yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw, ataukah karena dorongan puritanisme. Mengingat, sampai akhir hayatnya, Muhammad tidak pernah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara agama. Apakah mungkin Nabi lupa – tentu saja tidak mungkin, apalagi untuk soal sepenting ini. Pidato terakhir Nabi pun tidaklah menyinggung adanya negara agama, melainkan masalah kemanusiaan dan perdamaian. Bahkan, komunitas yang dibangun Nabi lewat Piagam Madinah pun tidak disebut Beliau sebagai daulah atau negara, melainkan ummah. Kata ummah tidak terbatas pada umat Islam saja, melainkan juga umat-umat di luar Islam. Paham negara agama ini sungguh kontra produktif jika diterapkan di masyarakat majemuk seperti di Indonesia. Terbuka ancaman bagi persatuan bangsa, satu hal yang telah dibangun dengan susah payah oleh pendahulu-pendahulu kita.  
Ulil Amri vs Ulil Albab
Hal lain yang menarik selain cara pandang yang berbeda terhadap teks keislaman, adalah bidang kajian yang digandrungi oleh para aktivis pada waktu itu. Menjadi relevan kiranya dengan peristiwa politik yang terjadi belakangan ini, seperti badai yang melanda Partai Demokrat  yang notabene ketua umumnya dulunya adalah mantan ketua organisasi mahasiswa keislaman terbesar di Indonesia, dan geger impor daging sapi sehingga menyeret ketua umum PKS menjadi tersangka. Relevan karena keduanya adalah contoh para aktivis pergerakan Islam yang jejaknya tengah kita selusuri ini.
Bidang kajian yang digandrungi aktivis pada waktu itu secara sederhana bisa diringkas menjadi 2 bidang, yakni keulil-albab’an dan keulil-amri’an. Ulil albab cocok dengan mahasiswa, intelektual muda yang tengah berkembang dan penuh gagasan serta idealisme. Apalagi bagi sebuah pergerakan, kehidupan mahasiswa adalah hal yang paling baik untuk memompa idealisme, sehingga nantinya bila tiba kesempatan untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan, maka ia akan siap baik secara intelektual maupun secara ruhaniah. Hal ini telah dicontohkan dengan sangat baik oleh almarhum Nurcholish Madjid, yang semasa menjabat Ketua Umum HMI sering melontarkan gagasan-gagasan segar dan di kemudian hari beliau akhirnya diakui sebagai guru bangsa.
Akan tetapi bidang kajian yang jauh lebih diminati oleh para aktivis ternyata adalah keulil-amrian. Ini berangkat dari kaidah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin, baik bagi dirimu atau bagi lingkunganmu. Kaderisasi karenanya banyak ditujukan untuk mencetak pemimpin, dan konsekuensi logisnya tentu adalah masuk ke ranah politik. Tentu tidak salah, tetapi dalam sebuah strategi pergerakan, patut dikhawatirkan ia akan terpeleset jika tidak mempunyai modal spiritual yang cukup dalam mengarungi godaan politk yang besar.
Saya teringat perbincangan saya – waktu itu sekitar tahun 92 – dengan salah seorang tokoh yang cukup berpengaruh di HMI Jawa Bagian Tengah. Waktu itu saya tengah gundah dengan masalah teologi. Kebetulan juga masih hangatnya geger intelektual yang dibuat oleh Cak Nur waktu itu dengan melontarkan gagasan tidak ada tuhan selain tuhan. Apa yang saya risaukan tersebut justru tidak dianggap sebagai bahan diskusi yang lezat, melainkan ditanggapi sebagai topik diskusi yang kurang punya aspek strategis dalam pemberdayaan umat. Sampai sekarang pun bahkan saya masih menyesalinya. Bagaimana mungkin, konsepsi ketuhanan yang paling suci : laa ilaa ha ilallah, yang dengannya para nabi membuat revolusi-revolusi peradaban, hanya dipahami sebatas tidak ada tuhan selain (yang namanya) Allah ? Apalah arti sebuah nama? Tidak ada yang istimewa bila persaksian tersebut hanyalah terbatas pada nama, dan bukan pada esensi.
Dan kini, 20 tahun kemudian kita bisa melihat jejak yang ditinggalkan para aktivis Islam tersebut. Kesalahan strategi pergerakan, membawa dampak yang luar biasa besar. Sekarang yang tersisa hanyalah malu. Tidak perlu melakukan tobat nasional, sebelum mempunyai rasa malu. Tabik !


* Penulis adalah alumni MIPA Undip; pernah menjadi ketua Forum Studi Filsafat Islam Tembalang di Semarang tahun 1994*

PENGUNJUNG