KH HASYIM MUZADI* || Awalnya, Syekh Buthi Membuat “Gerah” Salafi-Wahabi

Syekh Said Ramadhan Al-Buthi adalah tokoh utama kelas dunia dari kalangan Sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang sufi, namun juga ahli syariat sekaligus ahli hakikat, dan argumentator Sunni terhadap serangan-serangan non-Sunni. Ini diakui baik di Suriah maupun di dunia Muslim lainnya.

Salah satu dari kehebatan Syekh Buthi adalah kemampuannya berargumentasi terhadap serangan-serangan kelompok takfiriyah yang suka mengkafirkan kelompok Asy’ari (Sunni), juga suka mengkafirkan amalan-amalan fadhilah dan lain sebagainya. Syekh Buthi ini paling gigih dan paling jitu untuk melawan mereka.

Ada dua karya Syekh Buthi yang membuat “gerah” kelompok Wahabi dan Salafi yang ada di Suriah dan di dunia muslim pada umumnya. Pertama bukunya yang berjudul al-La Mazhabiyyah: Akhtoru Bid'atin Tuhaddidus Syariah Islamiyyah, yang artinya bahwa pemikiran non madzhab adalah bid’ah baru yang dapat merusak pemikiran syari'ah. Ringkasnya, buku itu menjelaskan bahwa orang memahami Islam itu harus dengan pola berfikir. Nah pola berfikir itu dengan metodologi ijtihad yang tidak bisa hanya diserahkan orang-perorang yang tidak memenuhi syarat untuk itu. Menurut Syekh Buthi, bagi mereka yang melakukan itu samalah artinya dia merusak Islam karena dia akan memelencengkan makna yang sesungguhnya dari Islam itu sendiri. Buku ini sangat terkenal dan jitu sekali untuk melawan Wahabiyah dan kelompok takfiriyah tadi.

Kedua, buku Syekh Buthi yang berisi uraian tentang Salafi yakni As-Salafiyyah. Bahwa menurutnya, Salafi ini bukan madzab tapi suasana keagamaan pada zaman as-salafus salih. Jadi Salafi bukan merupakan pola pemikiran tapi fakta kehidupan darus salam itu yang damai.

Dua buku itu betul-betul membikin kelompok Wahabi dan Salafi kelabakan, sehingga sudah lama sebenarnya ada pertentangan sektarian antara Wahabi-Salafi dengan Syekh Buthi.

Penasihat Presiden
Bersamaan dengan itu Syekh Buthi menjadi penasihat Presiden. Dalam keadaan normal ia memberikan nasihat di bidang agama. Namun karena adanya konflik yang membelah pemerintah dan masyarakat pemberontak, dalam hal ini juga dikompori oleh luar negeri, maka terjadi kolaborasi antara faktor agama dan konflik politik.
Sementara itu di pemerintahan sendiri banyak unsur Syiah Alawiyahnya yang tidak disukai oleh jamaah-jamaah takfiriyah yang dimotori oleh Slafi-Wahabi, meskipun Syekh Buthi sendiri bukan orang Syiah. Syekh Buthi sendiri sebenarnya berada di pemerintahan dengan maksud ingin mencari keseimbangan antara Sunni dengan Syiah Alawiyah itu.

Konflik Suriah memang terus berlanjut. Faktor yang lebih dominan sebenarnya adalah politik. Pertama sebenarnya karena Israel itu ingin menghancurkan Suriah karena dia negara yang paling depan berhadapan dengan mereka. Di sana dihuni kekuatan-kekuatan militan yang melawan Israel. Seperti kekuatan Syiah yang dikendalikan oleh Iran, lalu kekuatan Hamas yang dikendalikan oleh Khalid Massal dan beberapa kekuatan Syiah sebagai bagian dari Hezbollah yang dipimpin oleh Hasan Nasrollah. Tiga kekuatan ini yang membuat Suriah menjadi musuh utama Israel ditambah bahwa pemerintahan Basyar sendiri cenderung ke Syiah Alawiyah.

Karena faktor politik ini, tentu sebagaimana juga penyerangan terhadap negara Islam yang lain pasti Amerika ikut campur. Dan dapat diduga bahwa dia pasti membantu pemberontak, pertama karena tidak suka dengan pemerintahan, kedua Salafi-Wahabi itu selalu pro Saudi-Amerika, termasuk di dalamnya jamaah takfiriyah.

Sementara negara-negara yang ‘sudah direformasi” seperti Mesir, Libya dan sebagainya yang diam-diam berpihak kepada Amerika, dan di sini mereka berpihak pada pemberontak. Nah karena itu maka Iran menyeret Cina dan Rusia untuk masuk dalam pertempuran ini karena faktor perlawanan terhadap Amerika, sebenarnya bukan karena faktor agama, namun untuk menjaga keseimbangan Barat dan Timur.

Maka terjadilah carut marut politik di Suriah, dan Syekh Buthi berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena beliau sebagai orang Sunni, sebagai penasihat pemerintah itu pun dia harus berhadapan dengan Syiah Alawi, sementara yang takfiri ini menganggap bahwa Syekh Buthi berpihak pada kedzaliman.
Karena Syekh Buthi itu dianggap sangat besar kekuatannya terutama dalam Islam maka kemudian beliau diserang dengan cara seperti itu. Syekh buthi meninggal dalam aksi serangan bunuh diri. Saya kira penyerangan ini tidak jauh dari kelompok takfiriyah, atau gerakan-gerakan politik yang anti pemerintah.
Propaganda Negatif
Setelah Syekh Buthi meninggal dengan cara seperti itu, kelihatannya pihak barat dan dari pihak Salafi-Wahabi ini mengkhawatirkan dukungan ulama dunia, atau simpati umat dunia terhadap beliau. Maka direkayasalah terhadap beberapa ulama untuk menjelekkan Syekh Buthi, seperti Syekh Qaradhawi. Ada statemen beliau yang cenderung memojokkan. Nah itu sebetulnya adalah bagian dari gerakan politik untuk meredam dukungan dan simpati kepada Syekh Buthi.

Kita mendengar orang yang menjelekkan Syekh baik di media cetak maupun elektronik internasional. Padahal di dalam orang Islam orang yang meninggal itu tidak usah dijelekkan. Ada haditsnya yang nenyebutkan, ‘Udzkuru ma hasina mautakum’. Nah tapi untuk kepentingan supaya tidak ada reaksi maka Syekh Buthi dijelekkan. Jadi kita tidak perlu memperbesar kontroversi ini karena termasuk bagian dari konspirasi orang lain.

Menurut ahlissunnah wal jamaah, orang yang shalih tetaplah shalih. Bahwa pilihan politik berakibat sesuatu itu kita tidak masuk dalam penilaian pribadi dan agamanya seperti dulu pada waktu zaman pertentangan Sayydina Ali dan Sayyidina Utsman. Orang Sunni mengatakan, ‘Apa yang terjadi di dalam sahabat itu kita diam”, karena itu bukan dari faktor agama tetapi faktor lain. Sehingga dari kelompok Sunni di dunia lebih senang kalau dia tidak menghujat Syekh Buthi dan ini lebih kepada masalah politik bukan masalah sektarianisme agama sekalipun masalah sektarianisme agama ini menjadi sumbu disebabkan karena permainan global untuk memainkan antara sektor itu.

Hubungan dengan NU

Sewaktu ke Suriah, saya sempat bertemu dengan Syekh Buthi bersama beberapa kiai, antara lain KH Idris Marzuki, KH Masruri Mughni (alm.), dan KH Nur Muhammad Iskandar. Beliau sudah memberikan ijazah langsung untuk menyebarkan semua karyanya.

Salah satu karyanya yang paling terkait dengan NU adalah Syarah Al-Hiham, karena Al-Hikam sendiri adalah kitab tasawuf andalan yang dikaji di pesantren. Menurut saya, kelebihan kitab yang ditulis Syekh Buthi dibanding syarah hikam lainnya, pertama karena beliau memulai Hikam itu dari syariatnya kemudian masuk hakikat. Jarang ada syarah Hikam seperti itu. Biasanya hakikatnya itu saja yang disyarahi. Jadi dari syariat beliau mengungkapkan dalil-dalilnya, baru baru masuk ke hakikat.

Yang kedua Syekh Buthi ini memperlengkapi Hikam ini dengan dalil-dalil yang muktabar baik Al-Qur’an maupun hadits nabi, karena hikam sendiri didalamnya tidak ada dalil hanya menyinggung sedikit tentang ayat, tapi belum proporsional pada setiap qoul ada dalilnya.

Di NU memang Sykeh Buthi ini kalah populer dibanding dengan misalnya Syekh Wahbah Zuhaili dan Qaradhawi. Itu karena masalah silaturrahim saja, karena beliau sudah sepuh. Syekh Wahbah masih sering datang ke Indonesia, sementara Syekh Buthi hanya diwakilkan kepada putranya, Dr Taufik.

Kedua, kitab-kitab Syekh Buthi bukan kategori fikih praktis, meskipun banyak sekali yang terkait dengan fikih dan ushul fikih, tapi beliau lebih dikenal dengan ulama sufi dan argumentator Sunni. Namun mestinya para ulama itu tidak bisa secara simpel dipetakan sebagai ahli fikih atau tasawuf. Seperti imam Syafi’i adalah ahli fikih padahal beliau sangat sufi. Imam Hanafi adalah ahli ra’yi tapi beliau juga sangat sufi. Jadi kita lebih sering melihat pada disiplin ilmu apa yang menonjol. Namun, "apa yang ada di gudang itu kan tidak semua terlihat di etalase."

Salah satu pemikiran Sykeh Buthi yang menurut saya perlu dikembangakan adalah komprehensi antar disiplin-disiplin pecahan ilmu agama, misalnya konprehensi antara fikih dengan tafsir, tasawuf dengan ilmu kalam. Ini dilakukan supaya integral. Saya bisa mengatakan bahwa syekh buti ini bisa disebut Imam Ghazali kedua baik di dalam mengutarakan argumentasi maupun mengutuhkan kembali ilmu-ilmu Islam itu yang selama ini pecah: fikih jauh dari tarekat, tarekat jauh dari ilmu kalam, teknologi jauh dari tauhid, dan seterusnya. Ini tidak benar.

Nah pecahan pecahan ilmu agama itu disatukan lagi oleh Syekh Buthi dalam ceramah-ceramah dan pengajian. Keistemewaan lain Syekh Buthi adalah ceramahnya yang sistematik dan terukur, serta bisa langsung ditranskrip dan dicetak tanpa editing. Maka karya-karya beliau tercatat cukup banyak dan sebagian besar sudah sampai ke berbagai pesantren di Indonesia.

Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Rais Syuriyah PBNU

PENGUNJUNG